Hanya tentang sebuah hati yang kesepian, mengais mencari bahagia. Bila malam tiba, anak laki-laki itu memandang langit, mencari-cari bintang di kanvas hitam... atau bila perlu purnama pun dinantinya. Bukan, bukan untuk menghadiahi mata dengan pandangan indah. Hanya mencari senyum dari bintang-bintang, atau bulan. Berbagi gelisah. Sayang, selalu berakhir dengan murung. Ia pun pergi tidur.
Kala pagi ia kembali memandang keluar. Bukan, bukan untuk menyuguhi mata dengan pandangan sejuk. Hanya menunggu mentari menyapanya. Sayang, bahkan si simbol kehangatan itu pun selalu enggan berbagi senyum dengannya.
Ia beralih pada barisan semut di dinding. Berharap satu semut membalikkan badan dan berkedip padanya. Sayang, mereka terlalu sibuk mengatur barisan agar terlihat santun. Berjejer rapih mengikuti pemimpin di depannya hingga membentuk sebuah garis lurus atau kurva melengkung. Dan sebisa mungkin menunjukkan kehangatan dengan bersalaman (atau berciuman ya?) dengan barisan lawan arahnya. Ya, begitulah... mereka selalu sibuk, entah untuk apa! Tak ada waktu untuk berbagi kedipan mata dengan sosok kesepian itu. Atau mungkin... semut pun tak melihatnya? Nama lengkapnya Nicholas James Vujicic, Anda bisa memanggilnya Nick Vujicic atau cukup Nick saja.
Pagi di Melbourne, Australia, 4 Desember 1982, ia lahir. Sehat, hanya saja… tanpa lengan, tanpa kaki. Jangan tanyakan pada dokter mengapa bisa demikian, karena dokterpun tidak pernah bisa menemukan alasan medis yang tepat akan hal tersebut. Secara medis, penyakit aneh dengan ciri-ciri tidak adanya keempat lengan dan tungkai disebut sebagai tetra-amelia, merupakan bawaan gen dari orang tua (padahal keluarga Nick tidak punya riwayat tetra-amelia). Pada banyak kasus tetra-amelia biasanya paru-paru sulit berkembang sehingga berakibat kesulitan bernafas. Oleh karena itu, banyak bayi penderita tetra-amelia hanya dapat bertahan hidup sesaat setelah lahir. Namun tidak dengan Nick. Diagnosa dokter meyakinkan bahwa ia sungguh sehat.
Hukum di Australia tidak mengizinkan seorang penyandang cacat (fisik maupun mental) memasuki sekolah umum. Namun, ibu Nick tidak putus asa berjuang menentang hukum tersebut. Ia sangat ingin anaknya dapat berinteraksi dengan anak-anak normal lainnya di sekolah umum. Perjuangan ibunya tidak sia-sia, Nick kemudian menjadi murid penyandang cacat pertama yang bergabung dengan sekolah umum. Nick senang. Ia suka dengan sekolah barunya, maksudnya... ia senang bisa bersekolah di sana dan ia juga berusaha bersikap selayaknya murid-murid lain. Tapi tetap saja, hidup tak mudah bagi Nick. Ia harus mengalami penolakan, diejek, dianggap aneh, dan perlakuan negatif lainnya (Anda dapat membayangkan bagaimana sulitnya menjadi seseorang yang ’berbeda’ dengan lingkungan Anda). Beruntung ia memiliki orang tua yang terus mendukungnya. Nick mulai mengabaikan cemooh dari murid-murid lain dan mulai memberanikan diri untuk mengobrol dengan beberapa murid. Ia mulai mendapat teman-teman baru akibat usahanya itu. Beberapa teman mulia menyukai Nick, mereka menganggap Nick ternyata tidak berbeda dengan mereka.... terlepas dari penampilan luarnya.
Nick berjuang dengan kekurangannya. Ia merasa rendah diri dan kesepian. Ia pernah marah, tapi tak tahu harus menyalahkan siapa. Ia selalu diajarkan bahwa Tuhan itu baik, Tuhan sayang padanya.”Apa ini caraMu mencintaiku? Memberikan aku hidup tanpa tangan dan kaki... Bagaimana bisa? Ini menyakitkan! Aku benci menjadi seperti ini.” Nick tidak mengerti, kalau Tuhan sayang padanya, mengapa dia diciptakan tidak punya tangan dan kaki. Sekitar usia 10 tahun, ia hampir bunuh diri. Sudah kubilang bukan, hidupnya tidak mudah.
Setiap malam, anak laki-laki itu tak pernah lupa berlutut, memejamkan matanya dan mulai berseru, ”Tuhan... tolong tumbuhkan tangan dan kaki untukku. Amin.” Ia tidur dan keesokan harinya... tangan dan kaki yang ia minta tidak tumbuh. Sampai suatu hari ia tersenyum sendiri menyadari bahwa ia terlalu banyak berkhayal dengan minta tangan dan kaki tumbuh dari tubuhnya. Akhirnya ia mulai menerima keadaannya, bersyukur.... setidaknya ia masih bisa hidup. Nick harus berterimah kasih pada ibunya atas artikel koran yang ia bawakan untuk Nick, artikel yang mengubah pemahamannya akan hidupnya sendiri. Artikel itu membahas tentang seorang pria yang justru menggunakan keterbatasannya untuk memberi semangat dan inpirasi bagi orang lain. Nick lalu menemukan... itulah tujuan hidupnya.
“I believe in a God that can do all things, but if he chooses not to give me arms and legs, I know its for the better. And I may not understand it, but all I need to know is that He is going to carry me through, that there is a purpose for it. (Aku percaya Tuhan dapat melakukan segala hal, namun jika Ia memilih untuk tidak memberiku tangan dan kaki, aku tahu itu untuk kebaikanku. Dan mungkin saya tidak memahaminya, tapi yang kuperlukan adalah tahu bahwa Ia membawaku sejauh ini, ada tujuan dibalik itu.)” –Nick Vujicic–
Nick mulai menjadi pembicara (motivator) saat menginjak 17 tahun. Ia meraih gelar di 2 bidang keahlian, Accounting and Financial planning, pada usianya yang ke 21. Ia adalah penduduk Brisbane, Queensland. Tinggal bersama seekor anjing yang setia menemaninya. Kini ia menjadi investor pasar modal dan real estate, motivator dan Direktur ”Life Without Limbs”, sebuah organisasi non-profit yang didirikannya pada tahun 2005. Sebagai motivator, ia telah berkeliling dunia membagikan kisah hidupnya untuk membantu orang-orang melewati masa-masa sulit dalam hidup.
Ia telah mengunjungi lebih dari 2 juta orang di lebih dari 24 negara untuk itu, termasuk Indonesia di tahun 2006. Ia sering memotivasi orang-orang yang dalam kekurangan (tidak normal) untuk berjuang mendapatkan mimpi mereka. Ia juga sering berbicara mengenai pengharapan. Nick menyebut dirinya ’hugging machine’. Anda mungkin harus menonton videonya agar dapat mengerti mengapa sebutan itu untuknya. Di setiap kesempatan berbicara di seluruh dunia, Nick dengan sabar meladeni orang-orang yang rindu menemukan pengharapan dengan memeluk Nick. Ia juga telah mengeluarkan 2 DVD motivasi yang berjudul LifeWithout Limbs: Life’s Greater Purpose dan No Arms, No Legs, No Worries.
Nick sangat mandiri. Kesulitan hidup telah melahirkan sosok yang mandiri. Dan itu sangat membanggakan. Ia tahu caranya membersihkan dan merawat dirinya sendiri, seperti menggosok gigi (ingat, dia tidak punya tangan!), bercukur, dan menyisir rambut. Ia tahu caranya menyalahkan dan mematikan lampu. Ia tahu caranya membuka gagang pintu. Ia tahu caranya menggunakan komputer. Ia tahu caranya berenang, berselancar, main golf, tenis, mengetik 43 kata dalam semenit, ... Dan hebatnya, ia bukan hanya tahu, ia melakukan semua itu.
Siapapun pasti akan menyukai Nick. Ia sangat ramah, menyenangkan, bersahabat, humoris, dan rendah hati. Ia selalu bersemangat dan bahagia. Nick juga sangat lincah. Di atas panggung ia tidak cuma berbicara, ia juga sering membuat orang-orang terperangah dengan memainkan kakinya. Kaki? Sebetulnya bukan kaki dalam arti sebenarnya, Nick punya semacam kaki kecil dengan dua jari di bagian bawah tubuhnya. ”Chicken drumstick” alias kaki ayam, begitulah ia menyebut kaki kecil kesayangannya itu. Dan dengan ’kaki ayam’nya itu ia bisa membuat orang-orang terpukau. Jika melihat sosok Nick yang seperti itu, mungkin kita tidak menyangka bahwa ia pernah melewati masa-masa hidup yang sangat sulit.
Di suatu kesempatan...
Di atas podium, di depan ribuan orang, Nick berdiri. Ada air mata menggenang di sudut mata pria 27 tahun dengan tinggi 3 kaki 3 inch (kira-kira setinggi anak umur 3 tahun) itu. Ia tersenyum bahagia mengingat dulu ia pernah mengatakan bahwa ia benci hidupnya, ... dan sekarang ia sangat suka hidupnya. Hidup tanpa tangan dan kaki sekaligus hidup yang menyentuh hidup jutaan orang lainnya.
*
Beberapa tahun yang lalu…
Aku suka bertanya. Aku sering bertanya. Tidak tidak…! Maksudku, penderitaan hidup membuatku jadi sering bertanya. Mempertanyakan hidup, mempertanyakan keadilan.
Tuhan punya telinga? Itu loh, sepasang alat pendengaran di sebelah kanan dan kiri kepala. Dia punya? Jika iya, lalu kenapa Dia tak mendengar saat aku berbisik di ’ruang persidangan’, ”Tuhan, tolong aku... nggak ada yang belain aku...”
Tuhan punya telinga? Dia punya? Jika ya, lalu kenapa Dia tak memperhatikan saat aku berseru, ”Tuhan, tolong bukakan ’pintu-pintu’ itu... mengapa semua ’pintu’ tertutup bagiku?”
Tuhan punya telinga? Dia punya? Jika ya, lalu kenapa Dia diam saat aku berteriak, ”Tuhan... aku sudah nggak sanggup menahan derita ini... Kau pikir aku sekuat apa?”
Jika sudah tak bisa lagi kutemukan harapan di dunia di mana aku tinggal, aku tertarik sekali untuk kost di bulan atau planet-planet terdekat lainnya di jagat raya ini. Sepertinya alien lebih pengertian dan menyenangkan daripada manusia. Setidaknya, aku belum pernah mendengar alien si biang gosip, alien si tukang serobot, alien si dengki, alien si tukang cari muka (hilang ke mana memangnya?), infotaiment alien, atau sinetron alien. Dan siapa tahu bisa bertetangga dengan Sailormoon. Menyenangkan sekali, bukan?
Hari-hariku berlalu cepat dan pertanyaan-pertanyaan yang tak kutemukan jawabannya di kolong langit: Mengapa ada orang yang beruntung dan mengapa ada yang kurang beruntung?, Mengapa ada orang yang limpah dengan kesempatan dan mengapa ada yang tidak? Kenapa orang yang tidak pernah berdoa justru bisa sukses? Kenapa orang yang tidak pernah mengandalkan Tuhan justru yang jadi kebanggaan, dan Mengapa -walau sudah berusaha jungkir balik dengan cerdas- sukses terlihat sangat sentimen denganku? Orang-orang di sekelilingku bilang bahwa aku tidak akan pernah sukses. Mereka bilang aku tidak akan mungkin jadi penulis.
Bulan-bulanku berlalu cepat. Bulan-bulan untuk mengerti bahwa menjalani hidup tak semudah yang kupikirkan. Waktu ku kecil, aku tak membayangkan hidup akan sesulit ini. Ketika aku menjadi seorang remaja, aku tak menyangka hidup yang akan kujalani tak semulus target-target dan rencana yang kubuat. Rasanya ingin makan kulit durian dan menelan kelereng lalu terjun ke sumur. Oh, hidup....
Sampai suatu sore di sebuah kelas...
Seseorang memberitahuku, ”Tuhan selalu punya telinga. Ya, Dia punya!” Seseorang itu bernama Nick Vujicic. Tentu dia tidak datang langsung ke kampusku dan menghampiriku di kelas, hahaha... itu terlalu berlebihan. Sore itu ada pemutaran video Nick Vujicic di kelasku. Aku lalu mencari tahu lebih banyak tentangnya. Dan itu mengubah hidupku selamanya.
Aku tak lagi suka bertanya. Aku tak lagi harus mempertanyakan hidup. Aku tak lagi harus mempertanyakan mengapa ada penderitaan. Aku tak lagi suka mempertanyakan ketidakadilan dalam hidup.
Nick memberiku inspirasi untuk bersyukur.
Nick memberiku inspirasi untuk tidak menyalahkan keadaan.
Nick memberiku inspirasi untuk tidak menyerah.
Nick memberiku inspirasi untuk memilih tidak mendengarkan kata-kata negatif dari orang lain, siapapun mereka. ”If the world thinks your not good enough, it’s a lie, you know. Get a second opinion. (Jika seisi dunia pikir Anda tidak cukup baik, itu bohong, Anda tahu. Miliki pendapat lain.)”– Nick Vujicic –
Nick memberiku inspirasi untuk membagikan hidupku untuk menolong orang lain melewati masa-masa sulit mereka yang juga sudah pernah kulewati. Tidak ada yang lebih membahagiakanku selain menerima respon dari orang-orang, respon atas tulisanku. Beberapa teman dan beberapa orang yang tak kukenal memberitahuku bahwa mereka sangat berterima kasih, mereka sedang tertekan menghadapi masalah, lalu mereka membaca tulisanku, dan menjadi semangat karenanya. Aku bisa melonjak kegirangan saat kotak pesan di emailku dipenuhi pesan-pesan dari orang-orang itu. Aku bahagia sekali. Bukan, bukan untuk kebanggaanku semata-mata... tapi aku bahagia karena akhirnya aku paham mengapa aku harus menderita... untuk menjadi inspirasi bagi mereka. Hal yang sama yang telah kudapat dari seorang Nick Vujicic, jutru lewat keterbatasannya dia telah menjadi inspirasi bagiku.
Dan inilah bagian yang paling aku suka, Nick memberiku insiprasi untuk menjalani hidup dengan penuh semangat dan keceriaan. Pendapat orang lain terhadap kita sangat bergantung dari pendapat kita tentang diri sendiri. Sikap Nick yang supel dan selalu bersemangat menunjukkan bahwa dia tidak menganggap dirinya aneh dan berbeda dari orang lain. Kalau sudah begitu, bagaimana mungkin orang lain bisa menganggap Nick aneh?!
Aku punya sebuah buku yang berisi daftar orang-orang yang sangat ingin kutemui di dunia ini. Dan nama di deretan teratas itu ialah Nick Vujicic. Nick adalah idolaku, sejak lama. Dua orang temanku pernah saling meledek ketika melihat kekurangan (cacat) Nick.
Yang satu berkata, ”Pacar kamu, tuh!” (sambil menunjuk Nick).
Yang seorang lagi membalas, ”Enak saja, itu cocoknya sama kamu!”
Semua langsung terdiam ketika aku dengan spontan berkata, ”Beruntung kalau bisa punya pacar seperti dia. Kalau kalian nggak mau, aku mau banget!” Bagiku Nick sangat luar biasa.
Ijinkan penderitaan hidupmu dipakai untuk menyentuh hidup orang lain.
”Never give up,” itulah motto hidup Nick. Aku takkan menyerah. Aku pasti bisa.
0 komentar:
Posting Komentar